Tidak ada yang paling didambakan saat ini bagi para pelajar Sekolah
Menengah tingkat Atas (SLTA), kecuali jika dapat meneruskan
pendidikannya ke tingkat lebih tinggi. Duduk di perguruan tinggi,
apalagi jika berhasil memasuki Universitas yang memiliki nama besar dan
memiliki sarana lengkap dan tenaga pengajar berkualitas, pasti merupakan
dambaan umumnya bagi calon mahasiswa.
Sebelum
melangkah memasuki jenjang pendidikan tinggi, kita semua memiliki
obsesi. Sejuta harapan digantungkan di sana. Biasanya dengan alasan
klasik. Supaya kelak mudah mendapat pekerjaan layak, enak, memberi
jaminan karier, terhormat dan mudah melangkah ke kehidupan berprestasi.
Ada pula yang hanya sekedar mencari status bagi kepentingan jenjang
pekerjaannya dan banyak yang memasuki perguruan tinggi benar-benar
sebagai wahana belajar untuk cita-citanya.
Tapi, apakah kita
semua sudah menyiapkan diri dan memahami, mengapa kita memasuki
perguruan tinggi. Apakah kita sudah siap segalanya untuk mengambil
jurusan dengan segala konsekwensinya?
Jangan keliru mengambil jurusan
Kita
semua sepakat memasuki perguruan tinggi itu bukan merupakan tujuan
akhir dari cita-cita kita. Kita sependapat pula, bahwa perguruan tinggi
merupakan wahana dana sarana tempat pendidikan yang cukup mempengaruhi
kelanjutan cita-cita kita. Sudah pasti, kita dituntut serius mengikuti
bidang studi yang diberikan. Beruntung, bagi mereka yang punya dasar
memahami apa yang menjadi sasaran masa depan, tersedia sarana alur atau
arah cita-cita dan dalam dirinya memiliki potensi yang sesuai dengan
jurusan ilmu yang dipilihnya. Namun, masih banyak di antara kita yang
keliru memahami pengertian memasuki perguruan tinggi.
Sebut saja Manto, seorang mahasiswa fakultas dari sebuah Universitas
ternama di Jakarta. Manto terobsesi tetangganya yang berhasil bekerja di
sebuah perusahaan besar dengan kedudukan sangat baik dan berpenghasilan
lumayan. Tetangganya merupakan lulusan fakultas tertentu dari sebuah
Universitas negeri yang punya nama. Meskipun tahu, dirinya tidak
memiliki dasar potensi dan kesukaan di bidangnya, Manto berusaha keras
untuk dapat memasuki Universitas tersebut dan memilih jurusan seperti
tetangganya. Ketika di SMA dia rajin memasuki lembaga bimbingan belajar
(Bimbel) dan mencari cara agar dapat lulus pada Ujian Nasional dan Ujian
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Belajar di sekolahnya justru
sering dia abaikan. Beruntung dia lulus dan dapat pula memasuki
Universitas yang didambakannya. Namun, ketika dua smeseter duduk di
bangku jurusan yang dimaksud, Manto menemui kejenuhan. Hasyrat untuk
memperdalam mata kuliah sama-sekali drop.
Manto benar-benar
hilang gairah. Dia lebih suka mengunjungi tempat kost kawan-kawannya
untuk ngerumpi. Pemikirannya tidak terarah dan tidak lagi terfokus pada
ilmu. Buku-buku mahal yang dibelinya sama sekali tidak ditoleh. Dia tak
bernafsu membuka buku, apalagi untuk mengunjungi perpustakaan. Padahal,
teman sekuliahnya bersemangat. Jika Manto akhirnya sering nangkring di
internet, bukanlah untuk mencari data atau hal yang penting bagi
perkuliahannya, melainkan sekedar membunuh kejenuhan dengan main games.
Lho, apa penyebabnya?
Kesalahan ternyata bukanlah pada perguruan
tinggi ataupun staf pengajarnya. Biaya kuliahpun bukan masalah, karena
orang tuanya cukup mampu. Rupanya Manto baru tersadar, jurusan yang
dipilih sama sekali tak sesuai dengan hasyrat sebenarnya yang ada pada
dirinya. Pada akhirnya, dengan segala keterpaksaannya, Manto berusaha
meneruskan kuliah. Sayangnya menjadi berlarut. Masa perkuliahannya
menjadi panjang. Tak bisa dihindarkan lagi, akhirnya Manto tertendang
dari Universitas tersebut alias drop out.
Manto bukanlah
satu-satunya mahasiswa yang "tidak beruntung" akibat pemaksaan kehendak.
Banyak juga mahasiswa lain akibat harus mengikuti jejak orang tuanya.
Kadang sang orang tua kurang sensistif terhadap potensi atau apa yang
dikehendaki anaknya. Misalkan orang tua menjadi seorang pengacara yang
sukses, anaknya dipaksa untuk mengambil jurusan hukum, meski dia tahu
anaknya tidak berbakat di sana.
Terobsesi dengan masa depan yang
akan memberikan kemudahan kerja juga sering menjebak sang mahasiswa.
Banyak jebolan perguruan tinggi merasa frustasi ketika awal memasuki
pekerjaan dia hanya menempati posisi sejajar dengan buruh lain yang
hanya lulusan SLTA. Pemikirannya hanya terfokus pada ‘jabatan', dan
bukan pada bidang yang wajib dia tekuni. Padahal, banyak pengusaha besar
yang menyekolahk ananaknya pada perguruan tinggi di luar negeri. Ketika lulus, anaknya
dipekerjakan pada pabrik dengan posisi sejajar dengan buruh paling
rendah. Sang anak justru menerima dan sangat sepakat dengan orang
tuanya. Tujuannya jelas, agar dia memahami pekerjaan tersebut dari
paling bawah hingga kelak jika memimpin perusahaan, akan berhasil
memahami semua masalah yang ada. Dia akan menjadi matang sebagai seorang
pemimpin perusahaan.
Ada seorang mahasiswa mengaku stress
sebelum melangkah. Dia sering mendengar atau membaca berita pada
berbagai media, bahwa lapangan pekerjaan semakin sempit dan banyak
sarjana yang menganggur. Ketika dia menduduki bangku kuliah, dia kurang
focus pada mata kuliah dan hatinyapun bimbang.
Membentuk maindset dalam diri kita
Tidak
ada yang dipersalahkan jika semua memiliki cita-cita dan harapan ingin
estabilished dalam hidup. Semua orang punya naluri sama. Tidak disangkal
pula jika perguruan tinggi menjadi referensi jembatan kesuksesan hidup.
Setiap mahasiswa perlu kesiapan mental jika merasa kelak merasa tidak
berhasil mencapai apa yang diimpikannya, meski sudah bersusah payah
menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Banyak mahasiswa jebolan
universitas tertentu cemburu akankesuksesan orang lain yang tidak pernah
mengecap pendidikan formal. Ada pula yang stress tidak mendapat
pekerjaan yang diharapkan.
Sebaiknya kita mulai berpikir sejak
dini. Kita menempatkan potensi diri sebagai dasar untuk mencapai
kesusksesan. Cobalah untuk berpikir mencapai kesuksesan itu tidak dengan
cara ‘instant'. Namun dengan tahapan ilmu dan ketekunan. Lepas kuliah,
tidak ada salahnya berobsesi untuk menciptakan lapangan kerja dan bukan
sepenuhnya terobsesi mendapat pekerjaan. Kerennya, kita bercita-cita
untuk bisa ‘mengupah' orang lain dan bukan menjadi ‘penerima upah'. Atau
ilmu menjadi bagian dari kehidupan kita, sebagai bagian dari
pengembangan untuk menuju cita-cita dan tidak dijadikan target keharusan
keberhasilan menurut kata orang lain. Maka pemikiran kita menjadi
melebar pada hal yang lebih luas dan besar, meski hal itu membutuhkan
perjuangan dan keteguhan hati. Ilmu yang diraih di strata pendidikan
tinggi dijadikan subyek dan bukan obyek.
Yang sangat lebih
penting lagi, kita harus mampu mengukur kemampuan diri. Kemampuan
potensi, kemampuan daya pikir maupun yang menyangkut pembiayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar