Sabtu, 26 April 2014

Gerakan Pekerja Zaman Orde Baru Federasi Reformasi



Jatuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap krisis multidimensional seperti krisis ekonomi, sosial, dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya hutang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, merajalelanya korupsi-kolusi nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, konglomerasi. Selain itu terdapat semangat privatisasi, liberalisasi, ekonomi pasar, makin tingginya kesadaran akan hak asasi manusia, dan tuntutan demokratisasi.[1] Seluruh faktor tersebut saling terkait dalam hubungan yang kompleks hingga mencapai titik kulminasi jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998.
Sebelumnya Serikat Pekerja pada era Orde Baru berusaha untuk diciptakan homogenitas, keseragaman, kesatuan asas, dan kesamaan interpretasi. Semua itu dilakukan atas semangat persatuan dan kesatuan yang bahkan sering terkesan dipaksakan. Dengan adanya penyederhanaan partai politik di era Orde Baru maka hal tersebut juga berdampak pada penyederhanaan dalam organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi pekerja. Namun disisi lain dengan adanya penyederhanaan partai politik juga berdampak pada kemandirian Serikat Pekerja karena mereka tidak terikat atau tergantung pada partai politik. Jika sebelumnya Serikat Pekerja merupakan underbow partai politik, kini mereka bebas menentukan asas, tujuan, dan kebijaksanaan sendiri. Momentum penyederhanaan dan penyatuan Serikat Pekerja juga dimanfaatkan oleh para pimpinan dan aktivis Serikat Pekerja untuk membentuk persatuan dan kesatuan Serikat Pekerja seluruh Indonesia, yaitu lahirnya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 20 Februari 1973 dengan Agus Sudono sebagai ketuanya.[2] Namun seiring perkembangannya, FBSI ini bertransformasi menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) pada Oktober 1994.[3] Walaupun buruh dapat disatukan dalam sebuah kesatuan, namun hal itu tidak membuat Federasi Serikat Buruh dapat meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah dan pengusaha. Asosiasi buruh ini tidak lain hanya digunakan sebagai perpanjangan tangan bagi pemerintah untuk dapat lebih mengontrol kekuatan buruh. Hal ini sama dengan penggunaan asosiasi pengusaha, Kamar Dagang Indonesia (KADIN), yang digunakan oleh rezim Orde Baru agar dapat mengontrol kekuatan pengusaha.
Bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, mulai banyak didengungkan reformasi di segala bidang, salah satunya di bidang ketenagakerjaan. Pada hakekatnya reformasi adalah proses perubahan, koreksi atau perbaikan yang cukup mendasar menyangkut bentuk yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta prinsip pokok yang hendak dilaksanakan. Untuk mencapai semua itu salah satunya adalah adanya jaminan hukum di bidang ketenegakerjaan. Pertama, adalah kebebasan untuk mendirikan Serikat Pekerja Baru di luar SPSI. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara mencabut Kepmenaker No. 3 Tahun 1993 yang digantikan dengan Kepmenaker No. 05 Tahun 1998 yang memberikan kemudahan organisasi pekerja untuk didaftarkan sebagai Serikat Pekerja secara resmi. Dalam Permenaker No. 5 Tahun 1998 tersebut diatur juga mengenai pendaftaran ulang bagi Serikat Pekerja yang telah terdaftar sebelumnya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang Hubungan Industrial, Pemerintah akhirnya mencabut Permenaker No. 05 Tahun 1998 karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berserikat. Dalam sidang Pleno LKS Tripartit, pemerintah menetapkan Kepmenaker No. 201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja.[4] Dalam Kepmenaker No. 201/MEN/1999 dikatakan bahwa Organisasi Pekerja adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja guna memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja. Organisasi Pekerja mempunyai sifat mandiri, demokratis, bebas, dan bertanggung jawab. Selain itu Kepmenaker tersebut juga mengatur pendaftaran serikat pekerja dengan mencantumkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; susunan dan nama pengurus; daftar nama pekerja yang menjadi anggota, dan; surat pernyataan pekerja dan alamat pekerja.[5] Dengan adanya Serikat Pekerja yang semakin terpolarisasi, pada dasarnya dimaksudkan agar Serikat Pekerja dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu bersaing secara positif untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan mendorong kemajuan usaha dalam rangka mempercepat proses peningkatan daya saing ekonomi di pasar internasional.
Kedua, yaitu agar dapat melaksanakan pemberian lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat pekerja dalam memperjuangkan perbaikan atau peningkatan kesejahteraan anggotanya. Salah satu langkah tersebut dilakukan dengan cara meratifikasi Konvensi ILO No.87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak organisasi (ILO Convention concerning freedom of association and protection of the right to organize) melalui Keppres No. 83 Tahun 1998. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 87 maka Indonesia mengakui bahwa prinsip Serikat Pekerja telah sesuai dengan peratuaran perundang-undangan untuk melakukan kegiatan. Dengan kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan, mereka harus mampu melindungi, menyalurkan aspirasi serta meningkatkan kemampuan para pekerja sehingga kesejahteraan para pekerja dan keluargannya dapat meningkat.[6]
Setidaknya terdapat tiga buah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi tercerminnya kebebasan berserikat dalam dunia ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) serta beberapa peraturan perundang-undangan dan Keputusan Menteri lainnya. Perangkat hukum tersebut memastikan komitmen pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pengakuan terhadap ketentuan ketenagakerjaan internasional mengenai prinsip-prinsip serta hak-hak mendasar ditempat kerja. Hal tersebut dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi inti organisasi perburuhan internasional (ILO) dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang kondusif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai instrumen memperkuat hak berserikat maupun berunding bersama, dan pada saat yang sama saling menjaga, memelihara hubungan industrial yang harmonis agar tetap kondusif bagi perbaikan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
            Salah satu tantangan dari ketenagakerjaan dan hubungan industrial adalah dengan diberikannya kebebasan bagi para pekerja untuk mendirikan Serikat Pekerja. Di satu sisi hal tersebut cukup baik untuk menciptakan persaingan yang positif, namun disisi lain hal tersebut justru melemahkan pihak buruh ketika melakukan perundingan tripartit. Misalnya perwakilan buruh di Dewan Pengupahan akan terpecah menjadi beberapa Serikat Pekerja yang menjadi anggotanya. Berbeda dengan wakil dari pengusaha, yaitu APINDO, dan pemerintah yang terwakili dalam satu suara. Terpecahnya wakil dari buruh tentu akan melemahkan posisi tawar dalam perundingan tripartit, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan.
Tantangan lainnya berasal dari buruh kontrak. Undang-Undang Nomor 13 selain membawa keterjaminan hak parah buruh, namun juga membawa ketidakadilan bagi buruh. Sistem kontrak setidaknya melemahkan posisi buruh dalam mendapatkan jaminan pekerjaan dan kesejahteraan. Selain itu dengan sistem kontrak akan menghalangi buruh untuk naik pangkat dalam karier pekerjaan mereka sehingga kesejahteraan buruh hanya akan berkutat di satu titik tanpa adanya kenaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar