Jatuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi sebagai reaksi
terhadap krisis multidimensional seperti krisis ekonomi, sosial, dan politik yang diakibatkan karena berbagai
sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya hutang luar negeri, kredit
perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, merajalelanya
korupsi-kolusi nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, konglomerasi. Selain itu
terdapat semangat privatisasi, liberalisasi, ekonomi pasar, makin tingginya
kesadaran akan hak asasi manusia, dan tuntutan demokratisasi.[1]
Seluruh faktor tersebut saling terkait dalam hubungan yang kompleks hingga
mencapai titik kulminasi jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998.
Sebelumnya Serikat Pekerja pada era Orde Baru berusaha untuk
diciptakan homogenitas, keseragaman, kesatuan asas, dan kesamaan interpretasi.
Semua itu dilakukan atas semangat persatuan dan kesatuan yang bahkan sering
terkesan dipaksakan. Dengan adanya penyederhanaan partai politik di era Orde
Baru maka hal tersebut juga berdampak pada penyederhanaan dalam organisasi
kemasyarakatan termasuk organisasi pekerja. Namun disisi lain dengan adanya
penyederhanaan partai politik juga berdampak pada kemandirian Serikat Pekerja karena
mereka tidak terikat atau tergantung pada partai politik. Jika sebelumnya
Serikat Pekerja merupakan underbow partai politik, kini mereka bebas menentukan
asas, tujuan, dan kebijaksanaan sendiri. Momentum penyederhanaan dan penyatuan
Serikat Pekerja juga dimanfaatkan oleh para pimpinan dan aktivis Serikat
Pekerja untuk membentuk persatuan dan kesatuan Serikat Pekerja seluruh
Indonesia, yaitu lahirnya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 20
Februari 1973 dengan Agus Sudono sebagai ketuanya.[2]
Namun seiring perkembangannya, FBSI ini bertransformasi menjadi Federasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) pada Oktober 1994.[3]
Walaupun buruh dapat disatukan dalam sebuah
kesatuan, namun hal itu tidak membuat Federasi Serikat Buruh dapat meningkatkan
posisi tawarnya terhadap pemerintah dan pengusaha. Asosiasi buruh ini tidak
lain hanya digunakan sebagai perpanjangan tangan bagi pemerintah untuk dapat
lebih mengontrol kekuatan buruh. Hal ini sama dengan penggunaan asosiasi
pengusaha, Kamar Dagang Indonesia (KADIN), yang digunakan oleh rezim Orde Baru
agar dapat mengontrol kekuatan pengusaha.
Bersamaan
dengan jatuhnya Orde Baru, mulai banyak didengungkan reformasi di segala bidang, salah satunya di
bidang ketenagakerjaan. Pada hakekatnya reformasi adalah proses perubahan,
koreksi atau perbaikan yang cukup mendasar menyangkut bentuk yang tidak sesuai
untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta prinsip pokok yang hendak
dilaksanakan. Untuk mencapai semua itu salah satunya adalah adanya jaminan
hukum di bidang ketenegakerjaan. Pertama, adalah kebebasan untuk
mendirikan Serikat Pekerja Baru di luar SPSI. Dalam pelaksanaannya dilakukan
dengan cara mencabut Kepmenaker No. 3 Tahun 1993 yang digantikan dengan
Kepmenaker No. 05 Tahun 1998 yang memberikan kemudahan organisasi pekerja untuk
didaftarkan sebagai Serikat Pekerja secara resmi. Dalam Permenaker No. 5 Tahun
1998 tersebut diatur juga mengenai pendaftaran ulang bagi Serikat Pekerja yang
telah terdaftar sebelumnya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan mendasar
di bidang Hubungan Industrial, Pemerintah akhirnya mencabut Permenaker No. 05
Tahun 1998 karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berserikat. Dalam
sidang Pleno LKS Tripartit, pemerintah menetapkan Kepmenaker No. 201/MEN/1999
tentang Organisasi Pekerja.[4]
Dalam Kepmenaker No. 201/MEN/1999 dikatakan bahwa Organisasi Pekerja adalah
organisasi yang dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja guna
memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja. Organisasi Pekerja mempunyai
sifat mandiri, demokratis, bebas, dan bertanggung jawab. Selain itu Kepmenaker
tersebut juga mengatur pendaftaran serikat pekerja dengan mencantumkan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; susunan dan nama pengurus; daftar nama pekerja
yang menjadi anggota, dan; surat pernyataan pekerja dan alamat pekerja.[5]
Dengan adanya Serikat Pekerja yang semakin terpolarisasi, pada dasarnya
dimaksudkan agar Serikat Pekerja dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu
bersaing secara positif untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan
mendorong kemajuan usaha dalam rangka mempercepat proses peningkatan daya saing
ekonomi di pasar internasional.
Kedua, yaitu agar dapat melaksanakan
pemberian lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat
pekerja dalam memperjuangkan perbaikan atau peningkatan kesejahteraan
anggotanya. Salah satu langkah tersebut dilakukan dengan cara meratifikasi
Konvensi ILO No.87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak
organisasi (ILO Convention concerning freedom of association and protection
of the right to organize) melalui Keppres No. 83 Tahun 1998. Dengan
meratifikasi Konvensi ILO No. 87 maka Indonesia mengakui bahwa prinsip Serikat
Pekerja telah sesuai dengan peratuaran perundang-undangan untuk melakukan
kegiatan. Dengan kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan, mereka harus mampu
melindungi, menyalurkan aspirasi serta meningkatkan kemampuan para pekerja
sehingga kesejahteraan para pekerja dan keluargannya dapat meningkat.[6]
Setidaknya
terdapat tiga buah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diharapkan menciptakan
iklim kondusif bagi tercerminnya kebebasan berserikat dalam dunia
ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja,
Undag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
serta beberapa peraturan perundang-undangan dan Keputusan Menteri lainnya.
Perangkat hukum tersebut memastikan komitmen pemerintah Indonesia untuk
merealisasikan pengakuan terhadap ketentuan ketenagakerjaan internasional
mengenai prinsip-prinsip serta hak-hak mendasar ditempat kerja. Hal tersebut
dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi inti organisasi perburuhan
internasional (ILO) dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang
kondusif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Undang-undang tersebut dapat
digunakan sebagai instrumen memperkuat hak berserikat maupun berunding bersama,
dan pada saat yang sama saling menjaga, memelihara hubungan industrial yang
harmonis agar tetap kondusif bagi perbaikan ekonomi bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Salah
satu tantangan dari ketenagakerjaan dan hubungan industrial adalah dengan
diberikannya kebebasan bagi para pekerja untuk mendirikan Serikat Pekerja. Di
satu sisi hal tersebut cukup baik untuk menciptakan persaingan yang positif,
namun disisi lain hal tersebut justru melemahkan pihak buruh ketika melakukan
perundingan tripartit. Misalnya perwakilan buruh di Dewan Pengupahan akan
terpecah menjadi beberapa Serikat Pekerja yang menjadi anggotanya. Berbeda
dengan wakil dari pengusaha, yaitu APINDO, dan pemerintah yang terwakili dalam
satu suara. Terpecahnya wakil dari buruh tentu akan melemahkan posisi tawar
dalam perundingan tripartit, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan.
Tantangan
lainnya berasal dari buruh kontrak. Undang-Undang Nomor 13 selain membawa
keterjaminan hak parah buruh, namun juga membawa ketidakadilan bagi buruh.
Sistem kontrak setidaknya melemahkan posisi buruh dalam mendapatkan jaminan
pekerjaan dan kesejahteraan. Selain itu dengan sistem kontrak akan menghalangi
buruh untuk naik pangkat dalam karier pekerjaan mereka sehingga kesejahteraan
buruh hanya akan berkutat di satu titik tanpa adanya kenaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar